Seiring dengan meningkatnya promosi dan diskon yang ditawarkan pengelola pusat perbelanjaan (mall) di Indonesia dan toko daring (online shop), seperti Tokopedia, Bukalapak, Traveloka, Lazada dan lain sebagainya, perilaku pembelian impulsif (impulsive buying) di kalangan generasi milenial juga semakin meningkat.
Menurut Zhou & Gu (2015) impulsive buying identik dengan pembelian tidak terencana, dimana konsumen cenderung membuat keputusan secara langsung dan spontan yang didorong oleh perasaan kuat untuk membeli karena tawaran, promosi, atau iklan yang dilakukan oleh pihak penjual.
Pembelian impulsif merupakan fenomena umum di masyarakat yang menjadi tantangan bagi peneliti di bidang psikologi karena sifatnya yang kompleks. Fenomena ini dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari. Para remaja dan orang dewasa yang tinggal di kota metropolitan memiliki kecenderungan impulsive buying untuk mencapai beberapa tingkat standar sosial dan gaya hidup.
CNN Indonesia sebagaimana dikutip Putra et. al (2017) mengungkapkan bahwa generasi melenial adalah pelanggan yang paling impulsif di Asia Pasifik, dimana setengah dari pembelian dilakukan secara spontan diatas rata-rata. Generasi melenial lebih mungkin melakukan pembelian impulsif untuk memanjakan diri daripada generasi lainnya (Amos et.al 2014).
Kajian teranyar yang dilakukan Sri Hartini (2018) dari Fakultas Psikologi UIN Jakarta, menunjukkan sekitar 44% mahasiswa UIN Jakarta memiliki perilaku impulsive buying yang tinggi. Artinya hampir separuh dari mahasiswa UIN Jakarta memiliki kebiasaan membeli yang tidak terencana.
Lebih lanjut, hasil penelitian Hartini menunjukkan terdapat dua faktor utama yang membuat generasi melenial cenderung berperilaku impulsive buying, yaitu gaya hidup konsumen dan tipe kepribadian individu.
“Gaya hidup konsumen dan jenis kepribadian individu merupakan faktor berpengaruh yang membuat individu melakukan impulsive buying”, ucap Sri Hartini setelah berhasil mempertahankan hasil penelitian di depan dua dosen penguji,Yufi Adriani, Ph.D., Psi dan Mulia Sari Dewi, M.Si., Psi.
Niliai koefisien regresi dari dedua variabel tersebut, tambah Hartini, adalah 36.9%. Artinya kebiasaan melakukan impulsive buying dikalangan mahasiswa UIN Jakarta disebabkan oleh kedua faktor tersebut, sementara 63.1% disebabkan oleh faktor lain yang tidak terungkap dalam penelitian ini.
Variabel kepribadian yang dikaji Hartini memiliki lima dimensi yaitu openness, conscientiousness, extraversion, agreeableness, dan neuroticism. Dari lima dimensi kepribadian tersebut terdapat tiga dimensi yang berpengaruh secara signifikan terhadap pembelian impulsif, yaitu conscientiousness, extraversion dan neuroticism. Artinya mahasiswa yang tingkat kesadarannya rendah, suka bergaul, dan kestabilan emosinya rendah, cenderung menunjukkan perilaku impulsive buying. Sebaliknya, mahasiswa yang memiliki kepribadian terbuka (openness) dan mau menerima masukan dari orang lain (agreeableness), memiliki perilaku impulsive buying yang rendah.
Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kuantitatif. Partisipan dalam penelitian ini adalah 275 mahasiswa aktif Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang berusia 17-23 tahun.
Metode sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah non probability sampling dengan teknik accidental sampling. Alat ukur pembelian impulsif dalam penelitian ini yaitu, Impulsive Buying Tendency (IBT), dikembangkan oleh Verplanken dan Herabadi (2001), yang terdiri dari 20-item.
Hasil penelitian ini memiliki implikasi dalam kehidupan mahasiswa sebagai insan pembelajar sepanjang hayat. Di tengah-tengah tingginya tuntutan akademik dan tingginya mobilitas aktifitas kampus serta maraknya promosi atau iklan yang menawarkan berbagai diskon atau kemudahan pembayaran, mahasiswa dituntut untuk lebih selektif dalam berbelanja. Think before you buy and never buy before you think. Demikian, kata orang bijak yang perlu dijadikan bahan renunan oleh mahasiswa.